Oleh: ALFANI RISMAENITA
Musim dingin telah tiba di Gaza,
Palestina. Aku tak tahu harus kemana. Aku lapar! Aku kedinginan! Rumahku telah
rata dengan tanah sama seperti bangunan-bangunan yang lain. Negeriku hancur
berantakan, masa kecilku telah dibunuh. Orangtuaku?? Mereka sudah tenang di surga
karena syahid di peperangan melawan penjajah. Penjajah itu datang dan tiba-tiba
mengatakan tanah airku ini miliknya. Tanahku terbakar, tanahku dicuri
kebebasannya. Dimana kibasan sayap merpati, yang dahulu selalu ada di langit Palestina?
Malam telah tiba, makanan sudah ada
dibagikan. Namun, untuk mendapatkan sebungkus roti, kita harus berebutan. Dan
malam itu, Alhamdulillah!! Aku kebagian sebungkus roti. Aku mencari tempat yang
nyaman untuk menyantap roti ku. Tiba-tiba, aku melihat anak yang kira-kira
usianya 2 tahun lebih muda dariku. Tubuhnya kurus sekali, dia hanya duduk diam
disampingku, dia selalu melirik kearah rotiku. Kurasa ia juga sama laparnya
denganku, kupotong roti itu lalu kuberikan padanya setengah. Matanya berbinar
menerima roti itu, “Shukraan‘ ukhti” ucapnya lirih. Sejak kejadian itu kita
terus bersama-sama. Kita selalu mencari makan bersama-sama dan memakannya
bersama juga. Namanya Aisyah, dia sudah
seperti adik kandungku sendiri. Dia sering berkata kepadaku “Aku rela mati demi
tanah airku”. Atas dasar prinsipnya itu, dia sangatlah berani melawan siapapun
yang ingin menghancurkan negaraku, walaupun mungkin dia sendiri juga tahu bahwa
kekuatannya seorang diri tidak ada apa-apanya dibandingkan penjajah laknatullah
itu.
Suatu petang di Gaza, Palestina. Kembali
lagi penjajah-penjajah itu menyerang. Nyawa tidak lagi dihargai dan
dipedulikan. Manusia-manusia jatuh bergeletakan. Paramedis berjas putih dibalut
dengan darah itu mondar-mandir memberi pertolongannya tanpa peduli dengan
dirinya sendiri. Aisyah melepaskan diri dari pelukanku, anak manis dengan
keberanian penuh itu mengambil sebilah bambu dan mengikatkan bendera kami
diatasnya. Majulah dia kedepan para penjajah itu, sambil mengibarkan bendera
yang dipeganginya. Orang-orang meneriakinya agar segera mundur, namun perkataan
itu tidak didengar olehnya. Ia hanya berteriak dan terus berteriak “Negaraku,
milikku. Dan tidak akan kubiarkan siapapun dari kalian menghancurkan
Palestinaku”. Sampai akhirnya, salah satu dari penjajah itu menembakkan
senapannya. Peluru dari senapan itu mendarat tepat mengenai dada bagian kiri
Aisyah. Mungkin karena tak kuat menahan sakit, tubuh kecil yang malang itu
akhirnya rebah diatas tanah. Syahid dipeperangan, semoga surga untukmu
saudariku, tak kuasa aku menahan airmata melihat kejadian itu didepan mata. Akan
kuteruskan keberanianmu, tunggu aku disurga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar