Oleh: Nur afni ulfiana
" cinta kepada senja. Bukan, kepadamu. Eh, bukan, kepada kalian. Entah lah. Mungkin, aku jatuh cinta kepadamu waktu senja.Tentu kamu masih ingat saat semburat surya masih cukup rimbun, saat kita berjalan-jalan sore itu sambil bertelanjang kaki. Kristal-kristal di kaki, deburan ombak nan syahdu di telinga, hembusan garam nan basah di muka, serta degup di dada. Ah, siapa yang bisa lupa?Senja itu, di pantai itu, saat kita kemudian sepakat dalam diam. Tidak ada embel-embel, tidak ada jabat tangan, apalagi cap jempol di materai. Tak perlu. Cukup camar dan kapal nelayan di ujung horizon sana yang tahu kalau di pantai itu, Senin tanggal tujuh, aku menjadi manusia paling bahagia sedunia. Tentu kemudian, jelas kan kenapa aku bilang aku jatuh cinta kepada senja?Seharusnya pun, aku jatuh cinta kepada pantai juga.Eh bukan, aku jatuh cinta kepadamu! Entah waktu itu apa yang kamu rasakan. Bahagia? Apakah kamu juga jatuh cinta kepadaku, paling tidak barang sesaat? Tak tahu. Yang jelas sepanjang perjalanan kembali ke kota, kamu mendekapku sangat erat. Seperti yang kemudian sering kamu lakukan ketika kamu sedih, atau ketika kamu sedang marah kepadaku, lebih sering ketika kamu cemburu. Ah sayang, kamu selalu tidak percaya diri. Memangnya siapa sih yang punya mata sejernih hitam irismu? Siapa sih, yang punya rambut sehalus mahkotamu? Siapa sih, yang punya senyum terindah yang hanya mungkin tercipta dari bibir tipis milikmu itu? Ah sayang, betapa bodohnya kamu kalau harus cemburu!
Kemudian kita berkembang, berproses, sibuk dengan tujuan material dan normatif lain. Sibuk menyiksa diri dalam rutinitas tetek bengek tidak jelas yang masyarakat nilai sebagai sebuah keharusan. Sibuk siang malam, pagi sore, subuh, senja, kapanpun. Akhirnya, suatu hari, dalam dekapan itu, kita harus pergi satu sama lain. Duh, bagaimana aku bisa menikmati senja tanpa kamu? Aku harus hidup, tapi apa guna nya hidup tanpa cintamu? Di peron itu, kamu melambai pelan sambil melempar senyum. Ah keparat, mana bisa aku menahan rindu! Tapi sayang, rupanya rindu itu kemudian tersimpan. Bukan hilang, tapi tetap ada berdiri khidmat di ujung sana. Diam, menunggu saat yang tepat untuk datang dan menghujamiku dengan gambaran-gambaran tentangmu. Rindu itu bagaikan album foto, indah rapi tersimpan menunggu untuk kukagumi dan kuingat. Namun album foto ini brengsek, dia bisa datang sendiri menghadapku kalau aku sedang gabut. Dia datang, membuka halaman per halaman, menampakkan rambut indahmu, mata jernihmu, hidung panjangmu, gigimu, bibirmu, lehermu, uh semuanya! Kurang ajar kan?! Kemudian aku cari cara untukk mengurung rindu bedebah ini. Aku kesana kemari, menyibukkan diri makin-makin. Aku lelah, aku letih, aku mengantuk, aku menderita, tapi aku tidak rindu kamu. Itu bagus. Kalau cuma penat dan sakit tidak akan membunuhku. Kalau rindu kamu, siapa bisa menjamin? Hal itu perlahan-lahan menjadi tabiat baruku. Pelan-pelan, aku lupa bagaimana caranya merindu. Aku tak ingat lagi bagaimana harum rambutmu, kenyal pipimu, halus bibirmu, aku lupa. Tapi apa salahku? Orang bilang, kalau berjodoh pasti bertemu. Dosa apa aku, sehingga Tuhan harus menahan jodohku selama dasa musim? Apa benar itu jodohku? Kalau bukan, apa guna aku merindu seperti ini, ya tho?Hari itu, tanpa kuduga, kamu pulang. Kamu hadir dengan rambut terikat dan bibir merah menyala. Setelanmu khas wanita sukses sekali! Dandananmu sangat menor, sayang. Tapi cantik, karena itu kamu.
Kamu kemudian menyerahkan amplop. Undangan, katamu. Undangan pernikahan kamu dengan pria di seberang laut. Oh ya? Aku membaca namamu dan nama keren seorang pria. Namanya sangat asing, bukan orang sini rupanya. Aku melihat namaku sebagai yang diundang, diembel-embeli titel “saudara”. Apakah kita bersaudara, sayang? Apakah saudara saling merengkuh saat malam itu kita saling menggigil?Kenapa, tanyaku padamu. Kenapa tiba-tiba? Kemudian kamu menangis. Aku bingung setengah mati. Apa salahku?Kamu kemudian bercerita. Tentang pria seberang laut itu, seorang rekan kerja yang menguntungkan bagi perusahaan. Kemudian kalian menjalin kerja sama, kontrak, kemudian makan malam, pesta, dan selanjutnya entah apa lagi aku tidak mau dengar. Kamu menangis. Kamu bilang, ini semua salahmu, membiarkan si badut itu masuk dan meruntuhkanmu luar dalam. Kamu meminta maaf, aku tersenyum kecut. Ketika berbagai cara kulakukan agar tak merindu, kukira aku lah yang berdosa. Ah sayang, ternyata kamu ekstrem, ya? Kamu memang perempuan yang berani, dan kadang hilang arah. Aku paham itu, tentu saja. Lalu kamu harus menikah, tanyaku? Lari saja. Hidup bersamaku. Aku tidak peduli badut itu telah menidurimu berapa ratus kali, persetan bagiku. Aku cuma mau jiwamu, perasaanmu, cintamu. Tapi kamu menolak. Katamu, aku tidak akan siap. Rupanya, katamu, cintamu telah terbagi ke dalam raga baru. Jiwa kecil, yang sekarang bersemayam di relung kehidupanmu. Katamu, anak itu bukan tanggung jawabku, dan anak itu akan menjadi simbol bahwa cintamu tidak lagi seutuhnya kepadaku. Kemudian, setelah dekapan tererat yang pernah kamu lakukan padaku, kamu pergi. Kamu melangkah dari halaman rumahku, menuju pagar tanpa pernah sedikitpun membalik badan untuk melambaikan tangan atau sekedar memberi senyum seperti dulu. Maka dari itu aku datang kemari tiap senja, ke pantai ini. Aku jatuh cinta kepada senja, kepada semburat emas yang mengintip dari awan, yang kemudian berubah merah dan gelap. Aku jatuh cinta kepada senja, yang mengarsip rapi memori tentang kita. Aku jatuh cinta kepada senja, yang selalu hadir di sini ketika aku datang. Aku kagum, rindu, bahagia kepadamu, Senja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar