Oleh : Ahmad Farid Marzuki
Kelas : X MIPA 1
Daeng jali, begitulah biasa aku memanggilnya. Daeng Jali adalah seorang tukang bentor atau becak motor di kab.pangkep. dialah yang selalu mengantarkanku ke SD setiap hari kecuali hari ahad dan hari libur. Awalnya aku tak tahu kalau tetangga rumahku adalah seorang tukang bentor. tapi suatu hari lebih pagi dari biasanya, aku bersiap berangkat ke sekolah dan kulihat sebuah bentor berwarna kuning sedang parkir di samping rumahku. aku mendekat kebentor dan disitulah aku berkenalan dengan Daeng Jali. dulu daeng jali adalah seorang tukang becak, namun kondisi becaknya yang semakin rusak sudah tak layak lagi dipakai untuk mengambil penumpang.
Suatu ketika, aku mendapati raut kesedihan di wajah Daeng Jali meski ia belum cerita apa-apa. tapi aku tergolong orang yang sangat perhatian dengan hal-hal kecil, aku merasa aneh saat Daeng Jali mengatakan kalau bentornya sedang dipinjam temannya. dan hingga dua hari berikutnya bentor itu belum kembali, Daeng Jali yang sangat menghormatiku sebagai pelanggangnya tidak mau mengecewakanku. dia menawariku naik di becak tuanya, pernah juga ia memboncengku dengan motor bututnya.
Akhirnya Daeng Jali terus terang juga tentang bentor itu. sebenarnya bentor itu bukan miliknya tapi disewanya dari seorang juragan bentor, tak tanggung setoran yang harus dibayarnya tiap hari adalah dua puluh lima ribu rupiah, dan setoran itu sudah sangat membebankan bagi orang pas-pasan seperti Daeng Jali. belum lagi harga bensinnya yang harus ditanggung pribadi, rasanya jumlah setoran itu tidak adil bagi Daeng Jali. "saya tidak bisa bayar setorannya, jadi saya kembalikan bentornya saya rencana belli baknya saja dirumah sudah ada motor sayang bisa dijadikan bentor " ucap Daeng Jali. " memang harganya berapa, Daeng??" tanyaku penasaran. "empat jutaan bisa dicicil selama sepuluh tahun" jawab Daeng Jali, ternyata cukup mahal juga padahal cuman baknya saja, mungkin harga satu bentor bisa mencapai dua puluh juta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar