Entah kenapa aku menyukainya. Setiap hari aku menantikannya. SENJA. Itulah yang kusukai. Hari ini pun aku akan menikmatinya. Aku akan menikmati senja melalui jendela kamarku.
SENJA… Sesuatu yang indah, namun tak bisa diraba. Ia hanya bisa dipandang dan dirasakan keindahannya.
Aku menopang wajahku di antara kedua tanganku yang rerlipat di atas jendela kamarku.
Sepertinya senja saat ini, sama dengan senja senja yang sebelumnya. Tetap berwarna jingga kemerahan, dan yang kurasakan adalah keindahan yang tuhan ciptakan.
Seketika aku memejamkan mataku. Berusaha menghilangkan semua masalah yang kurasakan hari ini. Tidak lama kemudian, aku membuka mataku.
Dahiku menggerucut saat melihat itu. “apa itu?” Aku bertanya tanya pada diriku sendiri. Bayangan seorang anak perempuan yang melekat di langit senja, benar benar membuat mataku melebar dan membuatku tak bisa berbuat apa apa.
“Jangan takut padaku!” perkataannya sungguh membuatku tak percaya. “Kau siapa?” tanyaku penasaran dan sedikit ketakutan. “Teman senjamu.” Ia menjawab dengan senja yang hampir berganti menjadi malam. “Teman senja??” “Kau tidak perlu heran dengan kedatanganku…” setelah mengucapkan itu, sosoknya menghilang bersama senja. Dan bulan pun mulai datang untuk menerangi malam.
Dengan kejadian yang sudah terjadi senja tadi, aku tak bisa tenang sepanjang malam. Aku merasa senja tadi itu tidak seperti senja senja yang sebelumnya. Senja tadi sangatlah berbeda bagiku. Aku berusaha untuk melupakan kejadian senja tadi.
BEBERAPA SENJA KEMUDIAN…
Beberapa waktu terakhir ini, aku selalu merindukan senja. Entah mengapa, kadang aku juga membencinya. Senja itu selalu membawa gambaran anak perempuan yang menjadi teman senjaku. Tapi perempuan itu tak bisa kusentuh, apalagi kucumbu atau entah kuapakan lagi. Hanya suaranya yang selalu singgah di telingaku yang kian lebar. Aku kadang juga tertawa sendiri, entah gila atau sekedar terlena oleh sandiwara yang selalu kumainkan.
“Siapa sih kamu?” tanyaku suatu senja. “Kamu tak perlu siapa diriku, seperti aku tak pernah mau tahu siapa kamu!” seperti biasa, selesai bicara dia selalu menyelipkan seikat bunga di celah celah jantungku sampai tembus ke paru paru. Bunga yang tak berwarna dan tak pernah kering.
“Apa maumu?” hardikku. “Mauku seperti maumu juga. Tak usah marah! Nikmati saja permainan ini. Aku sengaja datang untuk menemanimu. Maaf, tapi kamu tak bisa merabaku, seperti kamu meraba huruf huruf di keyboard atau di kaca monitor. kamu juga tak bisa mengkhayalkanku, seperti saat kamu membuat cerita cerita.”
“Apakah kamu sebangsa iblis atau sejenisnya?”
“Jangan kasar! belum saatnya kamu tau siapa aku. Mungkin aku lebih manusia daripada kamu!!!”
Kemudian, suaranya lenyap ditelan gerimis. Malam mulai merangkak dan cahaya jingga kemerahan semakin sirna. Perempuan itu juga menghilang.
Selama beberapa hari, tak pernah lagi kudengar suaranya. Tak ada lagi yang menemaniku atau menghabiskan sore di jendela kamarku sambil menikmati secangkir teh. Baru kusadari senja terasa asing tanpa kehadirannya.
Kemudian dia muncul lagi, juga saat senja. Saat langit berwarna jingga kemerahan, saat matahari kuning bulat seperti telor mata sapi.
Aku pernah mencoba mencarinya di sekitar taman atau danau. Siapa tahu perempuan itu ada di sana, sedang bermain perosotan atau duduk manis di pinggir danau. Tapi dia memang benar benar tidak ada. Dia bisa muncul hanya saat senja dan menghilang saat senja itu sirna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar