“Ibu juga Manusia”
Karya: Muhammad Rayhan Saputra. A.
“Gak!” ucap anak laki-laki penegasan, “Aku gak mau mondok, Bu”
“Ibu tidak minta pendapatmu, Ahmad.”
Ahmad nama anak laki-laki itu melirik Ibunya tajam melalui ekor mata, “Aku yang bertanggung jawab atas hidupku sendiri.” menghelas nafas kasar, “Besok ikut Ibu ke Pesantren.” titah wanita separuh baya itu,yang tentunya tak disetujui Ahmad.
“Ibu!” ucap Ahmada setengah membentak. Langkah wanita paruh baya yang tadinya hendak meninggalkan kamar Ahmad terhenti, memandang Ahmad lamat. “Ibu, berhenti bertingkah menjengkalkan! Urus saja pekerjaanmu.”
“Baiklah.” lirih wanita itu, “Kalau kamu sudah tidak ingin diatur Ibu, tinggallah dengan Ayahmu.”
Mia nama wanita paruh baya yang termenung diterangi cahaya kekuningan yang kian meredup, pikir wanita itu melayang entah kebelahan bumi mana sebab terlalu emosional memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi setelah perdebatannya dengan anak semata wayang, Ahmad. Mia melirik gawai di nakas, nama mantan suaminya tertera.
“Mia” sapa lelaki itu ketika panggilan mereka terhubung, “Ahmad sudah cerita.”
“Kabari aku sebelum kemari mengambil Ahmad.” Balasnya lelah.
“Mia, harusnya kamu tidak memaksakan kehendak dengan Ahmad.”
“Ini demi kebaikannya, Adit.”
Adit menghelas nafas panjang, “Kamu Ibunya, harusnya lebih mengerti keinginan Ahmad.”
“Karena aku Ibunya, makanya ku berikan yang terbaik untuk hidupnya.” Balas Mia sedikit tersentil dengan perkataan mantan suaminya.
“Yang terbaik untukmu belum tentu terbaik untuknya. Kita semua paham konteks itu Mia.”
“Anak lima belas tahun tidak akan mengerti!” Memijit pelipis pelas, “Just two of us, aku akan mengupayakan apapun untuknya meskipun Ahmad akan membenci Ibunya.”
“Mia! Jika kamu tetap bersikap menjengkelkan dan keras kepala, kamu akan kehilangan Ahmad.”
“Adit, jangan lampau batasmu! Kalau kamu cukup peduli dengan kami seharusnya tetap menjadi Ayah dan Suami yang baik, jadi berhenti bertingkah bijak.”
Butuh sepersekian sekon bagi keduanya segera sadar bahwa pembicaraan mereka akan menguak titik awal sebab-akibat pertengkaran hingga mereka berpisah, dan itu akan menjadi pembicaraan yang alot dan emosional.
“Aku hanya tidak ingin kamu menyesal Mia. Menjadi orang tua bukan berarti akan menjadi yang selalu benar, kamu dan aku hanyalah manusia yang bersikap manusiawi.”
“Kamu tahukan, sejak perpisahan kita Ahmad berubah. Dia bertingkah konyol dan senang melanggar aturan, aku hanya ingin dia bersekolah ditempat yang mampu mengembalikan Ahmad menjadi anak yang patuh dan berprestasi seperti dulu.” ucap Mia nyalang, “Aku tidak akan sanggup melihatnya terjerumus kepergaulan sesat, Radit.”
“Maaf Mia, aku hanya berusaha bertindak sebagai Ayah bagi Ahmad.”
Mia diam membisu, memandang sebuah pigura dengan potret Ahmad kecil yang tersenyum dalam pelukannya. Waktu berlalu begitu cepat Ahmad kecilnya yang penuh tawa telah berubah menjadi anak remaja minim tawa bahkan bicara. Mia bahkan tak ingat kapan terakhir kali dirinya dan Ahmad saling sapa tanpa menguak amarah.
Mengapa hanya dia yang berada pada tempat yang sama?
Mengapa hanya dia yang selalu mengambil peran Ibu mejengkelkan?
Bagaimana menjadi Ibu yang baik?
Atau layakkah dia dipanggil Ibu?
“Aku-” ada luap ditenggerokannya yang membuatnya sulit berbicara, “ingin menjadi Ibu yang baik.” Meredamkan haru, Mia berbicara sekali lagi, “Di kehidupan ini, aku hanya ingin Ahmad tidak menyesali memiliki aku sebagai Ibunya.”
Adit berdecak pelan, “Mia, karena kamu Ibunya makanya Ahmad tidak ingin tinggal disekolah berasrama. Dia ingin bersamamu, selalu.”
Mendengar pernyataan Adit, luap yang sejak tadi tertahan kini tumpah ruah penuh isak.
“Karena Ahmad tau, hanya kalian berdua.”
Dalam keheningan malam yang kian gelap dan bintang yang kian kerlip, ada dua tangis yang beradu memecah sunyi; tangisan seorang Ibu yang kalah dengan egonya dan tangis anak laki-laki yang terluka dengan egonya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar