Oleh : Fadhilah Putri Arina
Pagi yang sangat sunyi, seperti biasa, aku
hanya memandangi fajar yang sama dan ditempat yang sama. Sebuah pertanda berawalnya
cerita. Melewati kegelapan di mana-mana. Menunggu datangnya senja. Sementara
suara gemuruh terdengar begitu nyaring. Aku tidak peduli. Jariku tetap
mengikuti pola gambar di atas kertas putih itu. Diiringi alunan melodi piano
yang berasal dari speaker mini di atas meja.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00. Gambar
ini aku putuskan akan kulanjutkan di sekolah. Aku segera berangkat ke sekolah.
Menggantungkan ransel di lenganku dan segera berlari. Aku mendengar panggilan
itu.
“Letta!.” Panggil mama.
Sengaja kuhiraukan. Malas untuk berbicara
dengan mama pagi ini. Lagipula aku harus kesekolah. Aku takut akan terlambat.
~~~
“Pagi Gara!.”
Teriakku pada Gara yang sedang memainkan ponselnya.
“Aaa.....Letta,
aku fikir siapa. Bikin kaget saja.” Balas Gara dengan wajah kagetnya yang
sangat lucu bagiku.
“Hehe...maaf!
Hanya menyapa saja.” Lanjutku dengan sedikit tertawa.
Basgara
Yudha. Sahabatku paling setia, sejati, selamanya dan terbaiklah pokoknya. Sahabat
yang sangat perhatian dan peduli padaku. Persahabatan kami dimulai sejak SMP
hingga menginjak SMA seperti sekarang. Bagaimana pun keadaanku, Gara selalu
ada. Pertemanan antara wanita dan pria selama empat tahun, bagi orang-orang bukan
tidak mungkin tidak ada rasa suka. Tapi aku dan Gara benar-benar hanya Sahabat.
Bahkan ia sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri.
“Letta, kamu
baik-baik saja?” Tanya Gara yang terlihat bingung melihatku mengeluarkan alat
gambarku dan hendak melanjutkan gambarku tadi pagi.
“Baik.”
Jawabku singkat.
“Aneh saja,
setelah sekian lama bungkam dari hobi mu ini, tiba-tiba saja kamu mulai melukis
lagi.” Lanjutnya.
“Aku hanya
ingin memulai semuanya dari awal, salah?” Balasku.
“Tidak, tidak
sama sekali, malah aku senang.” Kata Gara sambil tersenyum lebar padaku. Dan
hal itu membuatku tertawa geli.
Bel istirahat
akhirnya berbunyi. Hal yang sangatku tunggu sedari tadi. Entah sejak peristiwa
itu, aku sedikit berubah. Mulai sering banyak makan. Banyak tidur dan suka
menghabiskan waktu dikamar juga di kantin sekolah. Tentu aku tidak sendiri.
Selalu saja ditemani my true friend ,
siapa lagi jika bukan Gara.
“Gara, kantin
yuk!” Ajakku pada Gara yang tengah sibuk mengerjakan tugas.
“Buat
apa....aku sibuk!” Jawab Gara sedikit jutek.
“Ayolah! aku
lapar Garaa...” Pintaku dengan nada sedikit berubah.
Akhirnya ia
mau juga. Aku tahu sesibuk apapun Gara, dia pasti akan menuruti perkataanku.
Hal itulah yang membuatku lebih betah di sekolah daripada di rumah.
Perbandingan yang sangat jelas.
Dulu aku pernah sangat suka menghabiskan waktu
dirumah. Tetapi, semenjak perceraian mama dan ayah, aku sangat terpukul. Terlebih
lagi aku adalah anak semata wayang. Suatu hal yang tidak pernah aku bayangkan
sama sekali akan terjadi di kehidupanku. Entah apa yang membuat orang tuaku
memilih jalan hidup drama seperti ini. Semuanya sudah terjadi. Aku harus
menjalaninya.
Hari ini aku mengajak Gara kerumah. aku hendak
memperlihatkan karyaku yang selama ini telah aku kerjakan. Sekaligus membantuku mempersiapkan diri
menghadapi kompetisi melukisan yang akan kuikuti. Kebetulan sedang ada event
yang akan digelar dalam waktu dekat ini.
“Mama kamu kemana?” Tanya Gara sesaat setelah
tiba di rumah.
“Tidak tahu!” Ketusku .
Aku bisa melihat ekspresi Gara yang tidak suka
mendengar jawabanku. Salah satu orang yang menentang pemberontakanku adalah
Gara. Hakku untuk bersikap seperti ini. Ia tidak bisa memaksaku. Aku yakin Gara
pasti mengerti. Apalagi mama adalah orang yang sangat sibuk sampai tidak punya
waktu untukku. Mungkin hal itu pula yang menjadi pemicu perpisahan orang tuaku.
“Aku muak dengan pembicaraan orang di sekelilingku!”
Kataku pada Gara sambil memegang salah satu lukisanku.
“Kamu tahu, tekadang memiliki sifat `Masa Bodo’
itu diperlukan. Khususnya ketika lisan manusia mulai menyakitimu. Kita tidak
akan dihisab oleh perkataan mereka.” Ucap Gara padaku.
“Semua ini karena mama. Karena terlalu sibuk,
sehingga aku yang harus menanggung semua. Rasanya benar-benar sakit mendengar
pembicaraan tetangga mengenai keluargaku. Gara tidak tahukan bagaimana
rasanya.” Lanjutku dengan nada yang cukup tinggi.
“Percaya saja, Tuhan menggenggam semua doa,
kemudian dilepaskannya satu persatu disaat yang paling tepat.” Ucapnya lagi,
yang membuatku tenang seketika.
“Terima kasih Gara, selalu bisa membuatku
tenang. Aku terkadang merasa bingung, mengapa aku tidak bisa menyukai pria
sepertimu.” Kataku.
“Tenang saja. Setelah semua ini selesai,
harapanku perasaan ini juga selesai. Sama seperti semula, bahwa semua ini
tidaklah berarti apa-apa. Hanya sebuah pertemanan yang menyenangkan bahwa kita
bisa saling mengenal dan menjalin persahabatan.” Ungkap Gara yang membuatku
terdiam.
“Maaf.” Satu kata yang hanya bisa aku berikan
pada Gara.
~~~
Malam ini aku sendiri lagi. Mama belum juga
pulang dari kantor. Atau bahkan dia sudah lupa bahwa mempunyai seorang anak di rumah.
Tiba-tiba saja terdengar suara mobil yang memasuki garasi. Aku berprasangka
bahwa suara mobil itu milik mama.
“Mama dari mana saja? Mama lupa sekarang sudah
jam berapa?” Tanyaku pada mama dengan nada tinggi.”
“Maaf sayang, tiba-tiba saja tadi ada rapat
mendadak, mau tidak mau mama harus lembur.” Jawab mama yang membuatku berfikir
hal itu hanyalah sebuah alasan.
“Aku lelah ma!! Setiap hari menjadi bahan
pembicaraan orang-orang di sekolah, bahkan tetangga juga cerita. Lagipula,
kapan mama punya waktu untuk Letta?” Balasku dengan terseduh.
Aku sangat muak malam itu. Aku berlari menuju
dapur dan mengambil pisau diatas meja. Sontak mama dan pembantu di rumah panik
melihat apa yang aku lakukan. Aku sudah di luar kesadaranku. Tetesan darah
mulai mengalir secara perlahan dari
telapak tanganku. Mama tidak bisa menghentikanku. Terlanjur sudah aku goreskan
ujung pisau ini ditelapak tanganku.
Pagi ini terasa sangat berat untuk membuka
kelopak mataku. Aku merasakan perih di bagian tangan kananku. Ternyata malam
itu, aku tidak sadarkan diri. Mama membawaku kerumah sakit. Orang yang pertama
kali kulihat saat membuka mata adalah Gara. Seperti dugaanku raut wajah Gara
pagi ini sedikit berbeda. Entah mengapa aku merasa takut.
“Kamu gila ya? Kamu tahu, apa yang sudah kamu
lakukan?” Tanya Gara dengan raut wajah bingung sekaligus marah.
“Bagaimana
kamu bisa mengiikuti kompetisi dengan keadaan seperti ini!” Lanjut Gara.
Aku memalingkan wajahku, menghindari kontak
mata dengan Gara. Ia tidak paham dengan apa yang sedang aku rasakan. Yang bisa
aku lakukan hanyalah meminta maaf. Aku tahu dengan keadaan seperti ini akan
sulit bagiku untuk mengikuti kompetisi.
Setelah hari itu aku mulai mencoba untuk melukis kembali. Awalnya sangat
sulit. Akan tetapi aku tidak menyerah, aku terus mencoba. Tiba –tiba Gara
datang entah dari mana dan langsung merebut pensil ditanganku. Aku terkejut.
“Gara, kenapa diambil pensilnya?” Tanyaku
kesal.
“Kamu lupa?, tangan kamu sedang sakit letta!”
Jawabnya.
“Alasan dibalik mengapa aku melupakan banyak
hal adalah karena memang daya ingatku lemah. Terkadang itu membuatku bersyukur,
karena dengan mudah melupakan banyak rasa sakit.”
“Bicara kamu tidak rasional! Sudah, ayo ikut
aku.” Balas Gara dan langsung menarikku pergi.
Gara membawaku keluar. Aku tidak tahu dia
ingin membawaku kemana. Aku sangat kebingungan.
“Kenapa di restoran? Aku sudah makan tadi.”
Tanyaku yang kebingungan.
“Siapa bilang kita akan makan di sini? Sudah,
duduk!” Paksa Gara padaku.
Seseorang terlihat berjalan menuju ke arah
kami. Aku sangat terkejut melihat siapa yang datang. Abenk Alter, seorang
seniman muda yang selama ini aku kagumi. Aku tidak pernah menyangka akan
bertemu dengannya. Anganku sekarang menjadi nyata. Semuai berkat Gara. Hari itu
aku sangat bahagia. Bisa menerima banyak pelajaran dari Abenk yang sangat
menginspirasiku.
“Kamu dari
jalan sama Gara kan? Bagaimana, menyenangkan?” Tanya mama yang tiba-tiba saja
masuk kekamarku malam itu.
“Bukan urusan
mama!” Jawabku ketus.
“Sampai kapan
kamu akan bersikap seperti ini? Mama melakukan semua ini, demi kamu Letta!”
Ucap mama meyakinkanku.
“Aku hanya
ingin mama selalu ada untuk aku, hanya itu.”
Aku sangat
ingin menceritakan semuanya kepada mama. Aku ingin mama tahu aku mengikuti kompetisi
melukis dalam waktu dekat ini. Aku ingin mama tahu bahwa aku mengaharapkan
kehadirannya dihari perlombaan nanti. Tapi sepertinya hal itu tidak mungkin
terjadi. Menghabiskan waktu di rumah saja sangat sulit ia lakukan. Bahkan, aku
menjalani pemulihan pun ia tidak pernah ada di sampingku. Hanya Gara yang setia
menemaniku.
~~~
Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Aku sangat
gugup. Untuk pertama kalinya aku mengikuti kompetisi sebesar ini. Sudah
kupastikan, aku akan bertemu dengan pelukis-pelukis handal dan berpengalaman.
“Tenang saja, kamu pasti bisa!” Kata Gara
menyemangatiku.
Suara risih itu terdengar ditelingaku dan juga
Gara. Kumpulan manusia yang sedang berkomentar tentangku.
“Hhh...ternyata banyak diantara mereka yang
umurnya saja yang bertambah, tapi pemikirannnya tidak berkembang.“ Ucap Gara
tiba-tiba saja.
Entah mengapa aku merasa senang dan lega mendengar
perkataan Gara sebelumnnya. Tapi tetap saja ada yang menjanggal. Andai saja ada
mama di sini. Pasti semuanya sempurna. Gara langsung menyuruhku memasuki area
perlombaan, karena sebentar lagi perlombaan akan segera dimulai.
Aku mulai melukis. Tapi, entah mengapa rasanya
berbeda. Tidak biasanya seperti ini. Aku merasa ada yang tertahan. Dari
kejauhan Gara terlihat sedang menelpon seseorang. Tiba-tiba saja aku terdiam.
Aku tidak menyangka dia akan datang. Mama terlihat tersenyum dan menyemangatiku
dari kejauhan. Aku sangat senang. Ternyata mama bisa meluangkan waktunya
untukku. Akhirnya aku bisa melanjutkan lukisanku.
Hari itu menjadi hari yang sangat berkesan
bagiku. Meskipun tidak menang, aku tetap bahagia. Ternyata mama masih sayang
dan peduli padaku. Semua itu karena Gara. Dialah yang membuat mama bisa hadir
di hari itu. Tentang Gara, kami tetap menjadi sahabat. Dengan rasa suka, sayang
dan cinta sebagai sahabat.
Hai pagi. Hari ini aku mulai lagi perjalanan
hidupku. Harapan yang baru, kisah yang baru, tawa yang baru serta semangat yang
baru. Dan kepada malam, aku sangat berterima kasih karena telah menemaniku
bersedih. Aku tidak akan takut untuk terjatuh lagi. Don’t stop when you’re tired, stop when you’re done.
~~~